Sekedar

Sekedar untuk mengikat ilmu melalui tulisan,
Sekedar untuk mengusir rasa malas,
Sekedar untuk mencoba bermanfaat,
Sekedar untuk mendapatkan ilmu, melalui komentar Anda.

Senin, 16 Desember 2013

My Best of Best Friends



Why I call her “My Best of Best Friends”? may be one of many reasons is she is the longest...


Kami sudah berteman sejak duduk di Taman Kanak-Kanak. Sejak masih digandeng orang tua, masih ditungguin saat sekolah, masih suka nangis, ingusan, dan suka berantem. Kami berteman tepatnya hanya teman sekelas.

Menginjak Sekolah Dasar (SD) entah bagaimana ceritanya, kami menjadi dekat. Kemana-mana selalu bersama, bermain, beli jajan, belajar, bahkan saat pulang sekolah pun kami masih bermain bersama dan kadang mengerjakan PR bersama.
Sebenarnya saat SD banyak sekali teman, hampir satu kelas kita tau karakter masing-masing, bagaimana tidak, 6 tahun bersama pastilah semua sudah hafal sikap dan sifat teman-teman. Tapi yang namanya anak-anak, rasa nyaman tidak bisa dipaksa dan dibuat-buat. Semuanya mengalir begitu saja.


Saat SMP kami pun masih di sekolah yang sama. Meskipun tidak satu kelas, tapi kami selalu berangkat dan pulang bareng, naik sepeda beramai-ramai, bersama teman yang lain.

Saat SMA kami mulai beda sekolah. Saya di SMA dan dia di SMK. Meskipun begitu, kami masih punya waktu untuk bertemu, meskipun tidak sesering dulu, paling tidak sabtu malam minggu kami bertemu di kegiatan diba’an. Pada waktu liburan, kami juga sering berkumpul dan bercengkerama bersama.

Cukuplah cerita umum mengenai saya dan sahabat saya ini. Sekarang saya ingin membahas lebih detail tentang dia dan “kecantikannya”.

Namanya Siti Fatimah. Biasa dipanggil Siti, tapi di facebook yang saya buatkan untuknya, saya menambahkan nama panggilan “Imah” di sela-sela namanya. Hehee
Saya memanggilnya Siti, dan dia memanggil saya Mbak Indah. Emmm tak tahu dari mana ceritanya dia memanggil saya dengan sebutan Mbak, padahal kalau dilihat dari tanggal lahir, seharusnya saya yang memanggil Mbak Siti.

Dia adalah anak ke-6 dari 6 bersaudara. Iya benar, dia adalah anak bungsu dari keempat kakak perempuan dan satu kakak lelakinya. Setelah lulus dari SMK dia langsung mencari pekerjaan. Saya ingat waktu itu sempat protes pada diri sendiri, kenapa sahabat saya ini tidak melanjutkan kuliah seperti saya, kenapa saya tidak memiliki uang yang banyak sehingga bisa membantunya kuliah. Pikiran saya ini muncul berkali-kali dan sempat saya utarakan kepadanya, tetapi apa reaksinya? Dia hanya tersenyum manis melihatkan lesung pipinya, dan dengan nada suaranya yang lembut nan bijaksana mengeluarkan kata-kata yang bijaksana pula. Sungguh hal ini menambah kesalutanku padanya.

-flash back-
Pertama kali saya menyadari bahwa dia adalah sahabat yang menyayangi saya adalah, pada saat SMP kami terbiasa berangkat dan pulang ramai-ramai dengan teman yang lain. Sudah biasa bagi anak seumuran itu untuk sesekali saling mengejek dan mengolok-olok meskipun niatnya hanya bercanda. Namun saya dari kecil atau lebih tepatnya di keluarga saya tidak terbiasa diperlakukan seperti itu, hingga pada suatu waktu ada teman saya yang mengejek saya (lebih tepatnya saya lupa bagaimana dan karena apa), sebenarnya saya tidak marah tapi sakit hati iya, yang lebih bikin sakit hati adalah teman-teman saya yang lain malah beramai-ramai ikut menertawakan saya, kecuali satu orang. Iya kecuali Siti. Dia malah membelaku. Deg...saat itu juga saya lupa dengan sakit hati yang sedang saya rasakan, malah berubah menjadi rasa salut dan haru... I know, she is my best friend.

Di desa kami terdapat sebuah TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) yang berdiri sejak saya masih SD. Yang menjadi guru adalah Misradi tetangga kami, kami biasa memanggilnya Gok Mis. Umurnya sekitar 20.an waktu itu. Di TPQ ini kami belajar mulai dari berwudhu, membaca huruf hijaiyyah, menghafal, hingga menuliskannya. Kami juga belajar tata cara sholat, bacaan sholat, macam-macam sholat, belajar tajwid, dan semua yang berhubungan dengan kewajiban sebagai umat Islam. Hal yang menjadi favorit saya adalah hari sabtu, kenapa? Karena setiap hari sabtu kami tidak belajar mengaji, tapi hanya duduk manis sambil mendengarkan cerita kisah-kisah para Nabi. Dari TPQ inilah saya mulai belajar banyak tentang Islam, dan tanpa sadar dari sinilah tempat saya membekali diri untuk menghadapi masa depan. Kami tidak dipungut biaya apapun untuk belajar di sini. Dahulu saya tidak terlalu memperdulikan masalah biaya, jika disuruh membayar maka saya hanya akan meminta ke orang tua dan membayarkannya. Namun hal itu tak pernah terjadi. Baru pada saat mulai menginjak remaja baru memikirkan, sungguh mulia Gok Mis ini, mengajar dengan ikhlas, tulus, dan sabar.

Oke kenapa jadi ngomongin TPQ? Hubungannya apa sih. Hehee.

Kembali lagi ke Siti. Saya pergi ke Malang untuk kuliah. Dia sudah mendapatkan pekerjaan di suatu pabrik. Di tengah kesibukannya dia masih memiliki waktu untuk mengajar ngaji di desa kala sore untuk membantu Gok Mis.
Yah, semenjak saya kuliah saya sudah tidak pernah lagi ikut acara diba’an yang dulunya sudah menjadi semacam ritual malam minggu bagi saya. Apabila malam minggu saya pulang, saya masih sering mendengar alunan suara Siti menyanyikan ayat suci (diba’an) di speaker. Dan saya hanya duduk manis di rumah.
Dia masih seperti biasanya, rajin mengaji dan mengajar.

Saat malam takbir, dia selalu mengirim pesan ke saya sekedar menanyakan, apakah saya ikut?, biasanya kalau pingin ikut tapi agak malas, saya meminta dia menjemput saya, padahal untuk menuju rumah saya, dia harus melewati masjid tempat berkumpulnya start takbiran. Hehee tapi memang dari dulu saya lumayan sering memintanya menjemput saya. Dan tak lama kemudian pasti dia sudah berada di depan rumah saya.

Saat kami ulang tahun, kami juga masih bertukar kado, katakanlah ini kekanak-kanakan, tapi kami masih menyukai tradisi ini, meskipun tidak tepat di hari H ulang tahun, tapi kami selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dan bermain untuk merayakannya di hari yang lain.

Ya Allah semoga kami bisa menjaga persahabatan ini sampai nanti, Jagalah Kami dan Lindungilah Kami Ya Rabb... Amin

Persahabatan yang tak kenal waktu
Persahabatan yang tak mengukur jarak
Persahabatan yang tak peduli umur


Note:
Diba’an adalah tradisi membaca atau melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad yang dilakukan oleh masyarakat NU. Pembacaaan shalawat dilakukan bersama secara bergantian. (sumber: http://www.nu.or.id tahun 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar